Ketika Bandung Ingin Muda

Bandung / kota dengan seribu julukan dari lautan api hingga lautan sampah /

3129983521_cc961a4c18_m2

Akhir tahun lalu, Bandung punya gelaran lama yang hadir dengan wajah baru, Braga Festival. Tujuannya, tak lain dan tak bukan adalah untuk mengembalikan identitas Braga sebagai ikon klasik Kota Bandung. Jadi kali ini tak main-main, Pemkot Bandung bahkan rela merogoh kocek hingga miliaran rupiah untuk ‘sekedar’ menambal aspal Jalan Braga dengan kepingan batu andesit. Semua itu dilakukan agar Jalan Braga dapat menjadi kawasan pedestrian menyaingi Kembang Jepun-nya Surabaya atau Malioboro-nya Jogja. Berbagai acara pun turut digelar seperti pertunjukkan musik, pameran, hingga jualan baju-baju distro. Para seniman boleh saja mengeluh tentang minimnya seni tradisional yang ditampilkan, tapi toh itu tak mengurangi minat warga Bandung untuk berjubelan sepanjang jalan. Sayang, disana tak ada rangkaian bunga-bunga yang menghampar sepanjang jalan, kecuali jajaran pohon karet yang kalau dijual harganya bisa jutaan. Agaknya Bandung memang tak layak lgi disebut sebagai Kota Kembang, seperti yang ditasbihkan orang selama ini. Di era musik indie sekarang ini, Bandung lebih cocok disebut sebagai Kota Kreatif yang melahirkan ide-ide brilian dan mencetak ratusan pengusaha muda kreatif berbisnis inovatif. Jadi untuk sementara lupakan Bandung sebagai Kota Kembang, apalagi Paris-nya Jawa!!

Memang jika kita berbicara Kota Bandung rasanya sulit untuk lepas dari kisah-kisah romantisme masa lalunya. Julukan Parisj van Java yang pernah melekat pada kota ini, gaungnya masih terasa hingga kini. Padahal kondisi Bandung saat ini sangat jauh berbeda dengan suasana Bandung tempo dulu. Jejak-jejak kejayaan Bandung di masa silam hanya dapat kita temui di beberapa sudut jalan kota ini. Itu pun dalam kondisi yang memprihatinkan. Beberapa diantaranya banyak yang rusak dan tidak terawat atau telah berubah menjadi bangunan-bangunan modern yang tidak mempunyai nilai sejarah. Hal ini memang sangat disayangkan. Kota yang pernah disebut-sebut sebagai Kota Arsitektur dunia ini, kini malah kehilangan identitasnya. Para pengelola dan warga kotanya lebih menyukai pembangunan mal-mal dan pusat pusat keramaian lainnya dibanding pemugaran dan pelestarian bangunan bersejarah.

Citra Parisj van Java barangkali memang tinggal kenangan. Sebuah kota yang indah dengan tata letak yang teratur hanya tersisa dalam cerita. Dalam pembangunannya, Bandung berkembang semakin cepat dan bahkan kurang terkendali. Saat ini, relasi antara pengelola kota dan warganya kurang terbina dengan baik. Pihak pengelola kota seakan nggan membeberkan rencananya ke publik dan membiarkan warga kotanya untuk memilih sekian alternatif cara membangun kotanya. Ruang yang diberikan bagi mesyarakat untuk berpartisipasi secara efektif dan efisien dalam pengambilan kebijakan yang menyangkut kepentingan publik sangatlah mini. Alhasil, jadilah Bandung yang semakin semrawut dari hari ke hari. Di usianya yang semakin senja, kota ini tampak letih menanggung beban perkotaannya sendiri. Bahkan pada saat hari-hari libur menjelang, Bandung seringkali hampir ‘pingsan’ karena tak kuat lagi menahan derasnya arus pendatang.

Apa yang terjadi di Bandung hanyalah potret yang mewakili kondisi kota-kota besar lainnya di Indonesia. Ketidakselarasan para pengelola kota dengan para perencana membuat penataan kota-kota Indonesia ‘nyaris’ tak ada yang beres. Rendahnya interaksi dan koordinasi tergambarkan ke dalam kondisi kota yang begitu carut marut dan tampak kurang terencana. Kita amati saja perbedaan antara wilayah Bandung inti dan Bandung perluasan. Lihatlah, betapa terstrukturnya kota yang direncanakan oleh pemerintah kolonial. Mereka begitu apik dalam menata jalan dengan pohon peneduh di kedua sisinya. Mereka juga begitu manusiawi dalam menyediakan ruang-ruang terbuka hijau dalam kota. Namun, jika kita berjalan sedikit ke arah timur kota. Lihatlah betapa gersang, berantakan, dan kurang indahnya daerah tersebut. Adakah ruang-ruang terbuka hijau di sana yang menjadi tempat bagi publik untuk berolahraga atau sekedar berekreasi? Kalau pun ada, mungkin masih bisa dihitung dengan jari.

Hal lain yang menjadi sorotan ialah mengenai masalah penggunaan lahan di kota ini. Banyak orang yang bilang kalau di Bandung, kita bisa membangun apa saja dan dimana saja. Lho, kok gitu? Memang itulah kenyatannya, selama yang dipikirkan oleh pengelola kota ini hanya konsep kota “maruk” jasa. Lihat saja kondisi di sepanjang jalan Dago yang dulunya diperuntukkan untuk kawasan perumahan. Saat ini, sebagian besar lahan yang ada di sana telah berubah fungsi. Ada yang jadi plaza, kantor, factory outlet dan sebagainya. Itu baru satu jalan. Kasus-kasus yang terjadi di daerah-daerah lainnya juga hampir serupa. Belum lagi kasus kawasan Babakan Siliwangi yang masih menjadi pro-kontra. Setiap lahan benar-benar dilihat sebagai peluang bisnis tanpa diantisipasi dampak jangka panjangnya. Kalau sudah begini lantas orang sering bertanya,” Kamana atuh insinyur planologina?”.

Bandungku dulu dan kini memang telah banyak berubah. Kota taman yang dulunya penuh dengan pepohonan yang rindang serta bunga-bunga yang bermekaran, kini telah menjadi sebuah kota metropolitan yang ramai dengan segala fenomenanya. Kemacetan, polusi, dan slum area telah menjadi bagian dari keseharian kota ini. Tapi Bandung tetaplah Bandung. Sejak dulu hingga kini, kota ini senantiasa menawarkan nuansa yang berbeda hingga membuat orang betah untuk berlama-lama di kota ini. Meski kini kondisinya kurang nyaman, pesona yang dihadirkannya tetap mampu menjadi magnet yang menarik banyak orang untuk datang dan singgah di kota ini. Lalu akankan ada Bandung yang lebih baik di masa yang akan datang di tengah kekiniannya yang begitu semrawut? Tentunya itu semua yang kita harapkan. Semoga saja para pengelola dan warga kota ini mampu bersikap lebih arif dan bijak dalam membangun dan menjaga kota ini. Agar pesona Bandung tak lekas hilang ditelan masa. Agar kecantikannya bisa tampak kembali dan senantiasa terjaga. Agar Bandungku dulu dan kini bisa tetap dipuja. Selamat berbenah Bandung!!

~ by dimasandya on January 9, 2009.

One Response to “Ketika Bandung Ingin Muda”

  1. setuju, walikota semoga peduli dengan ini 😛

Leave a comment