Penunjuk jalan / papan hijau yang bisa menyala dalam gelap, jadi penyelamat kala tersesat /
Musim liburan akan segera tiba, dan Bandung segera saja menjadi salah satu tujuan wisata. Macet? Tentu saja. Apalagi di akhir pekan. Derasnya kaum pendatang yang ingin menikmati surga belanja dan makanan di kota ini tampaknya terlalu sulit untuk dibendung. Tapi itulah Bandung. Kota dengan sejuta daya tarik ini selalu tak henti memberi sajian yang unik dan menarik. Kuliner, fashion, pemandangan alam, menjadi madu yang diburu para pelancong. Apalagi kini para pemilik usaha semakin kreatif mengemas barang dagangannya hingga tak mungkin meninggalkan Bandung tanpa membawa buah tangan sedikit pun. Bahkan wisatawan dari negeri jiran dan negeri singa pun rela berdesak-desakan di Pasar Baru atau menyusuri Cihampelas hanya untuk sekedar mendapatkan apa yang mereka sebut dengan ‘barang bagus dengan harga miring’. Terlebih lagi fenomena Factory Outlet dan Distro yang terlanjur meng-Indonesia. Lantas Bandung pun mentasbihkan dirinya sebagai trendsetter fashion Nusantara.
Bagi para pecinta kuliner, Bandung seolah tak mau kalah peran. Disajikannya cafe, resto, hingga warung kaki lima yang bertebaran di seluruh penjuru kota. Belum lagi makanan khas legendarisnya seperti Kupat Tahu Gempol, Lontong Kari Kebon Karet, Bubur Mang Oyo, Batagor Riri, Baso Tahu Mang Ade, Nasi Bakar Cimandiri, Es Campur Pa’Oyen, Colenak Murdi Putra, Lotek Kalipah Apo, Surabi EnHai dan seabreg makanan lainnya yang tersebar dimana-mana, selalu menggoda lidah kita untuk mampir dan kemudian mencicipinya. Ada lagi oleh-oleh ala Molen Kartika Sari, Brownies Amanda, Boelu Koedja, yang setia mengisi bagasi mobil hingga penuh sesak. Itu tidak termasuk dengan barang belanjaan yang sedari tadi sudah menguras dompet sampai nyaris tak bersisa. Tapi asalkan semuanya bahagia, kenapa juga harus tak rela. Jauh-jauh datang ke Bandung, memang itu yang dicari. Setumpuk pakaian trendy dan cemilan bercita rasa tinggi.
Namun dari sekian banyak tujuan di Bandung, tak jarang banyak waktu yang terlalu lama dihabiskan di jalan. Macet pasti. Banjir iya. Tapi alasan itu terlalu biasa. Ada hal lain yang membuat para pelancong itu frustasi ketika keliling-keliling Bandung. Sesuatu yang seharusnya jadi guide, tetapi lebih sering jadi aksesoris di pinggir jalan. Sesuatu yang berwarna hijau dengan bingkai putih yang kadang-kadang bersembunyi di balik dedaunan. Yup, kamu benar. Petunjuk Jalan. Kalau diperhatikan signage di Bandung memang aneh dan berbeda dari kota-kota lainnya. Coba saja kamu teliti. Di daerah lain, lokasi-lokasi yang tertera di penunjuk jalan adalah nama tempat yang sudah sangat dikenal (landmark) seperti alun-alun, bandara, kampus, stasiun, dan sebagainya, atau tempat yang sering dituju para turis seperti kawasan wisata, gedung kesenian, museum, dan sebagainya. Tetapi cuma di Bandung kamu bisa tahu dimana letak ATM bank tertentu, studio foto, hotel tempat kamu akan menginap, cafe dan FO langganan, sampai penanda tempat kursus bertuliskan “Hati-Hati Anda memasukui Kawasan Dunia Maya..”
Boleh jadi inilah inovasi berlebihan dari Dinas Perhubungan Kota Bandung. Kreatif? Mungkin. Informatif? Belum tentu. Percayalah informasi yang terpajang di papan signage itu lebih sering membuat orang bingung dan kadang bertanya-tanya, “Kenapa tiba-tiba ada nama hotel anu dan cafe inu disana?” Padahal di atas, kanan, dan kirinya jelas-jelas tertulis nama jalan yang biasa dituju untuk memandu para pendatang. Sebagian penunjuk jalan juga ditempatkan di lokasi yang kurang pas sehingga baru kelihatan kalau sudah dekat. Malah ada signage yang gambarnya tampak seperti sebuah persimpangan, padahal sebenarnya posisi jalan miring (tidak tegak) dan ada sebuah taman segitiga yang pasti bikin orang loading alias mikir dulu waktu membacanya. Jangankan pendatang, orang Bandung sendiri sulit menginterpertasikannya kalau belum hafal jalan di sana, apalagi kalau sambil nyetir sendiri. Belum lagi sejumlah papan penunjuk tempat yang menyerupai rambu penunjuk jalan dengan latar hijau yang menyala dalam gelap, masih bertebaran di sejumlah jalan dengan ukuran yang tidak proporsional, serta jenis font yang tidak seragam. Semua hal tersebut sukses bikin pusing para pendatang dan menambah deretan keprihatinan lalu lintas di Bandung. Kadang-kadang saya malah suka berkhayal, kalau saya punya uang, rasanya saya akan buat papan penunjuk jalan yang memuat tulisan “Rumah Dimas” lengkap dengan arah panah ke kanan, di bawah tulisan Pusdai (Pusat Da’wah Islam) dan Gedung Sate sebagai landmark di wilayah tersebut. Dijamin nggak ada lagi yang bakal nyasar kalau mau ke rumah saya..hehe.. Kalau dipikir-pikir, lagi-lagi uang memang selalu punya kuasa, dan kali ini sponsor-lah yang boleh berbicara. Toh semua ini dengan dalih dalam rangka membantu pemerrintah bukan?!
Idealnya dengan panjang jalan sekitar 932 km, Bandung memang seharusnya memiliki 360 rambu penunjuk jalan yang tersebar di setiap persimpangan. Namun saat ini, rambu penunjuk jalan yang tersedia ‘hanya’ berjumlah 60 saja. Itu artinya Bandung masih kekurangan 300 rambu penunjuk jalan lagi. Dan jika diasumsikan setiap rambu penunjuk jalan membutuhkan dana 11 juta rupiah, seperti yang disebutkan Dinas Perhubungan Kota Bandung, maka dibutuhkan dana sekitar 3,3 miliar untuk pembuatannya. Hmm..sebenarnya itu jumlah yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bandung yang mencapai 250 miliar. Tapi kalau sudah berbicara layanan publik, sampai saat ini agaknya pemerintah memang kurang bisa diandalkan. Selalu saja ada alasannya, dari yang klise seperti tidak ada anggaran atau dananya terbatas, sampai yang paling mutakhir seperti akan diusulkan di periode anggaran berikutnya atau alokasi dananya dialihkan untuk pendidikan dan kesehatan. Padahal kalau pemerintah punya will atau kemauan yang tinggi untuk benar-benar serius menanganinya, jumlah segitu pasti bisa dipenuhi. Ah.. andai saja setiap penduduk Bandung yang berjumlah 3 juta jiwa bisa menyumbang 10 ribu untuk penggalangan dana pembuatan rambu penunjuk jalan layaknya ’koin untuk prita’, barulah pemerintah kalang kabut dan sibuk mencari topeng untuk menutupi wajah aslinya.
Terasa menggelikan memang. Papan yang tadinya berfungsi sebagai petunjuk jalan, seringkali malah tidak komunikatif sehingga gagal memandu. Padahal sejatinya signage memegang peranan yang sangat penting dalam menunjukkan arah lokasi tempat di suatu kota. Kontribusi terjadinya kemacetan mungkin saja disebabkan oleh para pendatang yang tersesat atau berjalan lambat karena mencari petunjuk arah jalan atau setengah mati menginterpretasikan petunjuk jalan yang tersedia. Tapi itulah kenyataannya. Kalau kamu tidak hafal jalan di Bandung atau tidak punya kenalan orang Bandung atau baru pertama kali di Bandung, maka bersiaplah untuk pusing-pusing Bandung. Apalagi jalan searah di Bandung punya karakteristik seperti ular yang jalurnya berkelok-kelok, sebentar belok kiri, sebentar belok kanan. Memang disini tidak ada aturan three in one, jadi tak perlu repot cari joki. Hanya saja, jalanan di Bandung yang mirip sirip ikan dengan banyak percabangan dimana-mana kadang sering memabukkan. Buat yang tahu jalan tikus, itu bisa jadi jalan keluar di tengah kemacetan. Tapi buat yang tahunya jalan di Bandung hanya Dago, Riau, Braga, dan Setiabudi saja, disarankan untuk bawa peta kemana-mana. Percayalah itu sangat amat membantu dibandingkan sekedar mengandalkan papan penunjuk jalan. Dan jangan lupa satu hal lagi, beranilah bertanya kalau memang tidak tahu , karena seperti kata pepatah “malu bertanya sesat di jalan”. Lagipula nggak ada salahnya toh bertanya lebih dulu, daripada kamu ditilang karena terlanjur melanggar rambu lalu lintas atau malah salah arah. Nah, sekarang kamu sudah lebih tahu kan bagaimana tips jalan-jalan di Bandung. Jadi bade kamana di Bandung?
Recent Comments